Oleh H. Ahdiat Gazali Rahman
Pemerhati Hukum, Sosial Budaya & Politik , Tinggal di Amuntai
Selamat tinggal tahun 2021, dan selamat jumpa dengan tahun 2022, ucapan itu yang sering kita dengar kita baca, dengan berbagai Embel kalimat lain yang dapat menarik, menyadarkan, menggugah, menggugat, membanggakan hingga ingin melupakan suatu yang pernah terjadi. Setiap Lembaga sibuk melakukan kajian apa yang berdampak posisi dari kegiatan yang dilaksanakan tahun kemarin untuk dilanjutkan di tahun depan, dan menghindarkan jauh pada suatu kegiatan nyang dapat merugikan. itulah tindakan suatu Lembaga yang umum, yang dapat diketahui dengan melihat angka yang ditampilkan, cara mengatasi dan menjadi sulosi.
Catatan kecil penulis kali ini pada apa yang belum terjadi sebelumnya , jika itupun terjadi mungkin lepas pemberian, apa itu hilangnya “empati” oleh Sebagian orang di bangsa ini, atau paling ada suatu yang berubah dari bangsa ini, setelah puluhan tahun dianggap bangsa yang sangat solidaritas tinggi, hidup rukun penuh kekerabatan, malah Sebagian penduduk Indonesia bermasalah dari pulau jawa ada semboyan”mangan tak makan kumpul” dan suku suku lain juga tak kalah penting melakukan solidaritas dengan pembuatan fasiltas umum bersama, walaupun mereka dari berbagai agama dan kepercayaan, namun dalam pekerjaan sosial meeka Bersama, memberikan pada mereka yang memerlukan dengan ikhlas, berapa banyak orang banyak rela melepaskan kekayaannya mendirikan bangunan tempat Ibadahnya, yang digunakan oleh ummat lainnya.
Semua itu menunjuk besarnya Empati manusia Indonesia saat itu, apa itu “Empati” Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata “Empati” adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. “Empati” memiliki arti dalam bidang ilmu psikologi. Keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Dengan sedarhana secara menurut pandangan umum orang merasa ikut menderita Ketika teman, orang lain menderita karena mendapat suatu peristiwa,
Sedangkan menurut Islam “empati” adalah upaya untuk mengerti orang secara mendalam, baik dari segi emosional maupun intelektual. Seseorang akan menggunakan hati, mata, dan pikirannya untuk mendengar secara objektif. Sifat empati merupakan kemampuan seseorang untuk menyadari perasaan, kepentingan, kehendak, masalah, atau kesusahan yang dirasakan orang lain. Singkatnya, empati adalah ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.
Menilik tiga kasus yang seolah “Empati”terasa hilang, disebagian bangsa ini, yakni :
Kasus di Medan antara preman dan pedagang sayur, pedagang sayur tidak hanya dipukul karena tidak memberi uang yang diminta oleh preman, tapi justru diadukan kepada pihak berwajib, dan pihak berwajib melanjutkan perkara itu , hingga menjadi Viral, pertanyaannya dimana “Empati” pihak berwajib pada pedagang sayur tersebut, karena sudah mau diperas, kemudian di Anianya, hingga lebam tubuhnya tapi masih harus mau diproses secara hukum.
Kasus seorang ibu rumah tangga yang melarang suami mabuk, Kasus seorang istri di Karawang Jawa Barat dituntut 1 tahun penjara karena marahi suami yang pulang dalam keadaan mabuk, sebuah kasus yang menjadi Viral setelah pihak kejaksaaan agung terlibat dan pengambilan status hukum menjadi lebih baik, tapi ingat proses itu, secara wajar tentu berawal dari pihak polisi yang telah melakukan pemberkasan nya, hingga penuntutan, pertanyaan Kembali apa mereka yang terlibat menangi kasus itu telah hilang “Empati” pada ibu itu, sejak dari pengaduanyang diterima polisi, hingga penuntutan oleh jaksa dan putusan oleh hakim, apakah maka yang terlibat tidak sadar dengan atau tidak punya “Empati” pada seorang ibu mereka hanya melihat UU dan aturan yang berlaku yang bisa digunakan untuk menghukum siIbu lupa, apa yang telah dilakukan oleh suaminya.
Kasus ketiga itu belum pernah terjadi yakni menimpa pasangan remaja malang, yang telah tertabrak mobil peengandara lain, yang pengendaranya bukan orang tanggung mereka adalah anak yang terbaik, karena menjadi pejabat disalah satu Lembaga negara, namun apa yang terjadi , penabrak bukan menolong membawa kerumah sakit atau tempat untuk memulihkan cederanya, malah dengan teganya membuang jasat mereka ketempat yang berbeda untuk menghilangkan jejak atau apa yang mereka pikirkan.
Kemana Empati Itu.
Belajar dari ketiga kasus itu yang seolah menghilangkan “Empati” dari mereka yang terdidik secara formal, mereka adalah orang yang telah berpendidikan, dan punya jabatan, apakah memang prilaku mereka tak pernah punya hati kecil pada mereka sehingga taka da tempat Empati berserang, jika apa yang mereka lakukan itu menimpa mereka, keluarga mereka anak mereka, kemana hati kecil mereka saat itu, bagaimana mereka melihat keadaan itu, bukankah mata dan hati manusia itu jujur, apa yang biasa disebut suara hati, bagaimana mereka berpikir secara obyektif tentang kasus yang mereka proses, mereka adalah orang terdidik, yang teruji mereka punya jabatan resmi, apakah yang mereka lakukan baru pertama, atau sudah jadi kebiasaan mereka dalam bertindak, dalam kata lain sejak kapan mereka kehihangan “Empati itu” atau memeng sejak mereka mendapatkan jabatan atau menjadi anggota dalam suatu Lembaga itu mereka sudah tidak punya “empati” karena mendapatkan jabatan.
itu juga menghalalkan segala cara dengan kata lain menggusur “empati”. Jika itu terjadi seharusnya kita tak hanya menyorot pada ketiga kasus itu lebih dari itu menyorot mereka yang berada dibelakang mereka itu, system yang salama terlaksana, dalam memberikan kepercayaan pada mereka, apakah masih menggunakan “empati” atau mengajarkan suatu paham baru yang tak berempati.
Perubahan Mental.
Bukankah negeri ini diakhirat tahun 2020 ini mencanangkan perubahan mental, perubahan seperti itukah yang terjadi, yakni mental yang tak berempati pada mereka yang tersakiti, mental hanya untuk sukses pada diri sendiri dan orang yang telah rela berbagi pada kita, ketika kita mencari energi untuk berkuasa, dengan tujuan sempurna hanya untuk mencari materi. Jika yang terjadi bangsa akan mengarah kemana, apakah masih akan melakukan suatu yang telah ditentukan kurang lebih 77 tahun kita telah merdeka, sejak 17 Agustus 1945, dan sepakat mengunakan lima pandangan bangsa yang menjadi tujuan perjuangan bangsa ini, untuk mengisi kemerdekaan ini agar menjadi bangsa yang maju dan mandiri dan peduli, bukan maju tapi tak peduli, dengan ketentuan yang telah ditentukan sebagai dasar bangsa yakni “PANCASILA” masih kah jiwa Pancasila kita masih ada pada mereka para pemegang kuasa, atau berlaku sebaliknya, Pencasila hanya jadi suatu yang didengungkan namun tanpa mau dilaksanakan, mari kita runut Pancasila yakni
Ketuhanan yang Maha Esa, pengagungan adanya Tuhan yang maha melihat, maha mendengar maha segalanya Ketika melakukan perbuatan itu, apakah mereka sadar apa yang mereka lakukan tak lepas dari pengetahuan Tuhan, Allah, bagi Umat Islam, dan sebutan lain untuk agama lain, dimana perasaan mereka terhadap Allah pencipta , tidak mereka sadar apa yang mereka lakukan sudah bertentangan dengan ajaran agama, dan falsafah negara yang menjadi dasar negara yang bersumber dari Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dimana kemanusiaan Yang Adil, dan beradab apakah mereka, yang terlibat itu punya hati Nurani secara kemanusiaan yang,mereka sudah sudah dikatakan manusia tak bermoral, yang akan mampu berbuat adil. Sangat jauh dari rasa kemanusiaan. Mereka tidak punya rasa kemanusiaan.