Oleh H. Ahdiat Gazali Rahman
Pemerhati Hukum, sosial politik tinggal di Amuntai
Semua ummat manusia yang normal dan bermoral pasti benci dengan napa yang disebut terorisme karena, karena paham itu selalu membuat orang lain menderita, perjuangan dengan teror tak pernah direstui oleh ummat manusia di manapun juga dalam dunia ini, semua negara membenci teror, apalagi bagi negara yang pernah merasakan betapa teror itu telah mendatangkan penderitaan, sebut saja teror Bangsa Israel pada bangsa Palestina, yang membuat rakyat Palestina terpaksa meninggalkan negaranya untuk diambil oleh bangsa Israel, menjadi sebuah negara zionis Israel. Usaha teroris kelompok kriminal bersenjata (KKB), di Papua yang ingin melepaskan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebuah upaya teror yang tak dapat dibenarkan oleh akal sehat manusia, karena menyebabkan korban orang yang tak berdosa seperti pegawai Kesehatan, rakyat biasa.
Semua elemen negeri ini sepakat dan sangat setuju negara memberantas upaya teroris dengan cara apapun, bahkan jika perlu mereka yang terlibat baik pada saat perencana, melatih, memberikan jalan, fasilitas atau apapun sehingga teror dapat terlaksana harus dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku, dan ini pasti mendapatkan dukungan oleh bangsa ini, siapa pun dia yang penting ada bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan yang menyatakan bahwa mereka itu memang teroris, ang akan melakukan teror, bukan kah kita pernah diajari sebuah pribasa “mencegah sakit lebih baik dari pada mengobati”, menangkap kelompok teroris yang merencanakan teror lebih baik dari pada setelah teror itu terjadi karena pasti akan korban, korban tak pernah Kembali dengan penangkapan para teror, dengan kata lain korban tetap menjadi korban.
Terorisme adalah “serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta sering kali merupakan warga sipil “.Terorisme sangat berbeda dengan kejahatan lain, karena sasaran dan korban teror biasa orang yang tak berdosa tak terlibat sengketa dengan mereka yang melakukan teror, dari itu sangat baik jika pihak terkait, berwenang yang bertanggungjawab dalam pemberantasan teroris, melakukan sebuah tindakan pengamanan pada mereka yang dianggap akan melakukan teror sebelum mereka bertindak, namun yang perlu diingat tindakan aparat itu wajib dan murni sesuai aturan hukum yang beralu, jangan bertindak karena pesanan, apalagi dengan memaksakan sebuah tindakan hanya karena berbeda pandangan politik, perbedaan SARA ("suku", "agama", "ras" dan "antargolongan"). Bisa dikatakan sebuah tindakan konyol yang mendatangkan cemoohan dari masyakat bahkan perlawanan, suatu yang harus dihindarkan sejauh mungkin. Hukum memang tidak pernah membedakan status seseorang, profesi dengan sebutan lain (semua sama dimata hukum). Jika akan melakukan terror maka harus diamankan, dan jika dalam penyelidikan tak cukup bukti mereka secepatnya dilepaskan dan rehabiltasi.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2.0T8 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2OO3 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2OO2 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI UNDANG-UNDANG mengatakan : “Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, Iingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan”.
Dengan ancaman hukuman seperti yang tercantum dalam :
Pasal 6 Setiap Orang yang dengan sengaja menggunakan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap Objek Vital yang Strategis, lingkungan hidup atau Fasilitas Publik atau fasilitas internasional dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.
Pasal l2A (1) Setiap Orang yang dengan maksud melakukan Tindak Pidana Terorisme di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di negara lain, merencanakan, menggerakkan, atau mengorganisasikan Tindak Pidans Terorisme dengan orang yang berada di dalam negeri dan/ atau di luar negeri atau negara asing dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling Lama 12 (dua belas) tahun.
Ayat (2) Setiap Orang yang dengan sengaja menjadi anggota atau merekrut orang untuk menjadi anggota Korporasi yang ditetapkan dan/atau diputuskan pengadilan sebagai organisasi Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun.
Ayat (3) Pendiri, pemimpin, pengurus, atau orang yang rnengendalikan Korporasi sebagairnana dimaksud pada ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.
Radikalisme berasal dari kata “radika”yang artinya secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip) amat keras menuntut perubahan; maju dalam berpikir dan bertindak. Secara etimologis, kata radikal sesungguhnya netral. Radikalis, kata sifat ini berasal dari bahasa Latin, radix atau radici. Menurut The Concise Oxford Dictionary (1987), istilah radikal berarti ‘akar’, ‘sumber’, atau ‘asal-mula’. Dimaknai lebih luas, istilah radikal mengacu pada hal-hal mendasar, prinsip-prinsip fundamental, pokok soal, dan esensial atas bermacam gejala, atau juga bisa bermakna “tidak biasanya” (unconventional).
Sementara,kata radikalisme di Indonesia diartikan berarti: “Paham atau aliran yang radikal dalam politik; paham atau aliran yang menginginkan perubahan sosial dan politik dengan cara kekerasan; sikap ekstrem dalam aliran politik”. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memiliki cara sendiri dalam memaknai redakalisme dalam kaitan dengan terorisme. Menurut instansi ini, radikalisme merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekerasan. Secara singkat, radikalisme adalah embrio lahirnya terorisme.
BNPT memiliki beberapa cara untuk mengenali individu yang menganut paham radikal, dengan pemilihan perilaku mereka dengan merinci pada 4 ciri yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka intoleran atau tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain.
Mereka fanatik atau selalu merasa benar sendiri dan menganggap yang lainnya salah.
Mereka eksklusif atau membedakan diri dari umat lainnya.
Mereka revolusioner atau cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan.
Untuk Radikalisme yang tidak mengarah pada terorisme tentu bukan sebuah perkara tindak pidana yang harus mendapat hukum, mereka yang punya sudut pandang berbeda tentang agama aliran (paham) agama dan melaksanakan dalam kehidupan sehari hari, tentu dengan berkeyakinan paham dia yang benar, selalu berbeda dengan pengikut lainya, tapi tak pernah merencanakan, menggunakan kekerasan dalam mengajak orang lain, untuk mengikuti dirinya kelompoknya tentu ini hanya dianggap sebuah perbuatan biasa yang biasa dianggap Fanatik dalam aliran.
Teroris adalah upaya perorang atau kelompok, atau organisasi untuk menjadikan teror dalam upaya mencapai tujuannya, namun jika teror hanya dilakukan oleh oknum tertentu yang menjadi atau tertular paham teror dari lingkungannya , bukan digerakkan oleh Lembaga dimana oknum itu berada, Lembaga itu tak perlu mendapatkan hukuman apalagi sampai dibubarkan.