Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Literasi adalah, Kemampuan
Menulis dan membaca; pengatahuan atau keterampilan dalam bidang atau
aktivitas tertentu(:komputer); kemampuan individu dalam mengolah
informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.
Sedangkan menurut Ditjen Dikdasmen (2016:2) Literasi adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan berbicara.
Berdasarkan definisi di atas dapat kita simpulkan literasi adalah
kemampuan seseorang dalam mengolah informasi dan pengetahuan (mengakses,
memahami dan menggunakan) secara cerdas melalui aktivitas membaca,
menulis, melihat, menyimak serta berbicara untuk kecakapan hidup.
UNESCO menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%.
Artinya, dari
1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Riset berbeda
bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh
Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia
dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca,
persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61).
Padahal,
dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat
Indonesia berada di atas negara-negara Eropa. Enam Puluh juta penduduk
Indonesia memiliki gadget, atau urutan kelima dunia terbanyak
kepemilikan gadget.
Lembaga riset digital marketing Emarketer
memperkirakan pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia
lebih dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan
menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di
dunia setelah Cina, India, dan Amerika.
Ironisnya, meski minat baca buku rendah tapi data wearesocial per Januari 2017 mengungkap orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari. Tidak heran dalam hal kecerewetan di media sosial orang Indonesia berada di urutan ke 5 dunia. (sumber: https://www.kominfo.go.id/…/teknologi-masya…/0/sorotan_media).
Lewat gadget memang banyak informasi yang beredar. Sayangnya informasi yang didapatkan kadang bukan berasal dari media yang bisa dipercaya, melainkan dari media sosial yang lebih banyak dipenuhi oleh opini, bukan fakta. Bahkan sebaliknya, mereka malah percaya dengan portal-portal fake news dan akun-akun penyebar hoaks itu. hal ini lah yang kemudian menjadikan seseorang lebih mudah termakan hoaks di sosmed.
Akibat dari keadaan tersebut arus penyebaran berita hoaks begitu cepat karena malas membaca dan cross cek akan kebenaran data, parahnya lagi perilaku ini juga dilakukan oleh mereka-mereka yang berpendidikan yang memadai, menurut Miftah Sabri, CEO Selasar.com mengutip hasil penelitian di Amerika Serikat (AS), mengatakan warga dengan pendidikan tinggi memiliki kemungkinanmenyebarhoaxterbanyak.
Jadi hoaks ini menyasar siapapun tidak memandang orang tersebut
pendidikan tinggi atau rendah, apabila orang tersebut lemah dalam
meliterasi diri dan mencari sumber rujukan sebuah informasi maka besar
kemungkinan orang tersebut akan termakan hoaks.
Begitu banyak contoh kasus yang kita temui terkait hoaks, kasus ratna sarumpaet misalnya yang menyudut perhatian semua orang, atau hoaks gempa susulan di palu, hoaks penculikan anak, hoaks konspirasi imunisasi dan vaksin, hoaks rekaman black box lion air JT610 (baca: https://news.detik.com/…/kominfo-rilis-10-hoax-paling-berda…) dan tidak kalah jumlahnya hoaks-hoaks yang skalanya kecil yang terjadi di daerah yang tidak terekspose media nasional serta banyak juga para pelaku penyebar nya yang berurusan dengan pihak berwajib.
Oleh karenanya cara yang paling efektif untuk menangkal hoaks adalah dengan membangun literasi baik itu digital atau non digital, dengan membangun budaya literasi seseorang akan lebih selektif dalam membagikan sebuah informasi yaitu dengan mencari sumber rujukan dari sebuah informasi tersebut, selain itu seseorang akan budaya kritis karena terbiasa dengan data dan fakta yang bersumber dari rujukan yang terpercaya.
Ada banyak cara yang bisa dilakukan dalam rangka membangun budaya literasi, yaitu dengan menyediakan bahan bacaan di dalam rumah, membuat pojok baca, atau membaca berita dan informasi lainnya dari media online tentunya sumber bacaan yang dibaca sudah di akui akan kredibilitasnya.
Selasa, 07 April 2020.
Penulis adalah tenaga pendidik SDN Mayanau Kec.Tebing Tinggi Kab.Balangan sekaligus Pembina LKP Gading Jaya Kec.Lampihong